Senin, 25 Maret 2019

Kenali Kecerdasaan Anak Melalui Metode Ini



Terkadang beberapa para orangtua kecewa dengan hasil belajar si kecil karena tidak seperti yang diharapkan. Beberapa bahkan mengeluh mengapa anaknya tidak bisa sepintar anak-anak lain yang mendapat prestasi cemerlang di sekolah.

Satu pemahaman yang perlu dimiliki oleh para orang tua dan guru adalah bahwa setiap anak terlahir dengan profil kognitif dan potensi yang unik. Peranan orang tua dan guru sangat penting dalam mengidentifikasi atau mengenali juga mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak, agar mereka dapat tumbuh menjadi orang yang percaya diri, optimis, berhasil, serta bermanfaat untuk diri sendiri dan lingkungan.

Untuk itu, sebagai orangtua dan guru ada baiknya mengetahui kecerdasan anak dengan menggunakan inovasi AJT CogTest.

Hasil AJT CogTest akan membantu orang tua dan guru lebih memahami kemampuan berpikir anak dalam pembelajaran di sekolah. Inovasi ini merupakan Tes Kognitif pertama yang dikembangkan berdasarkan norma Indonesia dengan proses pengembangan yang sistematis melibatkan lebih dari 250 psikolog Indonesia dan hampir 5.000 anak Indonesia sehingga menghasilkan produk tes yang berkelas dunia.

Landasan teori psikologi yang dipakai merupakan teori paling mutakhir dan komprehensif di dunia saat ini. AJT CogTest mengukur delapan bidang kemampuan kognitif anak usia 5 sampai dengan 18 tahun sehingga kekuatan serta kelemahan kemampuan berpikir anak dalam belajar dapat teridentifikasi secara lengkap dan jelas.

“Kami memiliki keyakinan bahwa setiap anak Indonesia itu cerdas, kewajiban kitalah untuk mengenali kecerdasan mereka. AJT CogTest menawarkan pengukuran kekuatan dan kelemahan kognitif yang akurat, andal, tervalidasi, dan komprehensif. Memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana anak memperoleh pengetahuan lalu memproses pengetahuan yang dimiliki.” Ujar Ari Kunwidodo, Chief Executive Officer PT MCI dalam siaran persnya.

Kesulitan belajar si kecil



Sebagian anak ada yang mengalami kesulitan belajar, susah untuk menerima materi pelajaran di sekolah. Sebagai orangtua dan guru perlu menghindari langsung mengambil kesimpulan anak itu malas, atau lebih buruk lagi menyebut bodoh.

Anak yang mengalami kesulitan belajar, bukan berarti tidak cerdas dan tidak memiliki kemampuan untuk menerima pelajaran yang diberikan. Kesulitan belajar yang dialami anak kemungkinan karena dipengaruhi oleh kemampuan kognitif atau otak.

Di dalam proses belajar terdapat kemampuan kognitif yang bertugas menerima, mengolah, menganalisis, atau menyimpan informasi, jika kemampuan kognitif tersebut diukur sehingga dapat teridentifikasi kemampuan kognitif mana yang memperlambat anak dalam proses belajarnya.

“Sebagai orang tua dan guru, sudah menjadi tugas kita mengetahui profil kognitif anak agar dapat membantu dan memahami bagaimana anak dapat belajar sebaik mungkin, dan bisa mengarahkan potensi-potensi yang dimiliki menjadi lebih maksimal seiring perkembangan serta pertumbuhan anak,” ujar Diana Lie, M. Psi., Psikolog di MCI.

Kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional atau akal, yang terdiri dari beberapa tahapan: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi. Hasil laporan AJT CogTest memungkinkan orangtua dan guru untuk mengarahkan anak dengan informasi lebih lengkap, serta membantu memahami pembelajaran anak mereka.

Selain itu dapat juga membantu dalam melakukan penyesuaian yang tepat terhadap pendekatan pengajaran mereka baik di sekolah maupun di rumah.


Sabtu, 23 Maret 2019

Mengajak anak olahraga bersama, dapat tingkatkan kebahagiannya



Keluarga perlu memiliki quality time bersama agar lebih akrab dan memahami satu sama lain. Karena meski tinggal satu rumah, bukan berarti semua keluarga punya hubungan dekat, baik dan saling memahami. Itulah mengapa, mengajak anak melakukan aktivitas bersama orangtuanya adalah salah satu cara mengenalinya lebih baik.

Salah satu aktivitas yang bisa dilakukan bersama adalah olahraga. Banyak orang mungkin tak tahu bahwa ternyata mengajak anak melakukan aktivitas bersama orangtua semacam olahraga ternyata mampu meningkatkan kebahagiaan anak. Anak akan memiliki kenangan kebersamaan keluarga yang berharga dan mampu membentuk karakternya sebagai individu.

Sebuah penelitian tahun 2018 yang dimuat dalam Journal of Happiness Studies menemukan bahwa keluarga yang olahraga bersama cenderung lebih bahagia dibanding keluarga yang tak pernah olahraga bersama Jenis olahraga yang dipilih bukan masalah besar, yang paling penting adalah waktu kebersamaan yang dihabiskan bersama.

Selain karena bisa menjadikan anggota keluarga dekat dan terikat secara positif satu sama lain, olahraga sendiri merupakan aktivitas yang mampu memicu pelepasan hormon kebahagiaan seperti endorfin dan serotonin, sehingga orang yang melakukannya akan merasa bebannya lebih ringan karena stres berkurang.

Jadi, jika ingin membesarkan anak yang bahagia, pastikan melakukan olahraga bersama dengan anak paling tidak seminggu sekali.


Wanita adalah ujung tombak lahirnya generasi hebat



Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.


"Aku menyesal tidak bersikeras untuk melanjutkan pendidikanku dulu.”

Kalimat penyesalan dari seorang teman ini aku dengar langsung di tengah obrolan dengannya setelah beberapa lama tidak bertemu. Ia seorang ibu dari tiga anak kecil yang super lucu dan seorang istri dengan suami yang berprofesi sebagai pegawai negri sipil. Ia yang saat itu repot sekali mengurusi anak-anaknya yang masih kecil-kecil terlihat lelah.

Dari ceritanya aku mengetahui bahwa setamat SMA ia diharuskan menikah oleh ayahnya. Menurut beliau, seorang anak perempuan tidak perlu punya pendidikan yang tinggi karena ujung-ujungnya akan berakhir di “dapur, kasur dan sumur”. Ia saat itu tidak mampu membantah perkataan ayahnya akhirnya harus dengan rela melepaskan mimpinya mengejar pendidikan yang tinggi. Ia akhirnya menikah dengan seseorang yang juga dipilihkan oleh keluarganya, pria yang terpaut jauh darinya dari segi umur.

Setelah obrolan yang cukup panjang itu, aku cukup prihatin dengan cita-citanya yang harus berhenti hanya karena lingkungan terdekatnya masih percaya bahwa perempuan tidak perlu untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin. Perkataan bahwa perempuan pada akhirnya akan berakhir di “dapur, kasur dan sumur” benar-benar membuatku berpikir ternyata masih ada orang-orang yang berpikiran sesempit itu.

Menjadi ibu rumah tangga, yang mengabdikan sisa hidupnya untuk keluarganya adalah sebuah pengorbanan besar yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Menjadi seorang istri dan ibu yang baik, yang memastikan segala hal yang terbaik untuk keluarganya adalah hal yang paling mulia. Namun, perempuan yang memilih untuk mengenyam pendidikan yang tinggi juga tidak salah. Kaum hawa berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum adam di luar sana.

Bung Hatta pernah berucap, “Siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu perempuan berarti sedang mendidik satu generasi." Perempuan adalah ujung tombak lahirnya generasi hebat. Seorang perempuan yang akan menjadi seorang ibu akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Tak ada yang salah dari seorang perempuan yang punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan tinggi, menjadi sarjana, menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu, menjadi seorang pekerja yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, menjadi sosok yang mandiri dan berpendidikan. Alangkah mundurnya bangsa ini kalau perempuan hanya punya tiga kewajiban dalam hidupnya yaitu dapur, kasur, dan sumur.

Temanku tadi sudah menjadi salah satu perempuan yang merelakan impiannya karena pandangan lingkungan yang salah tentang perempuan. Dan ia tidak ingin ini terjadi kepada putrinya. Ia memiliki seorang putri. Ia berjanji pada dirinya sendiri, anak perempuannya akan punya pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Ia tidak akan “menjebak” kehidupan dan masa depan sang anak hanya karena mindset lingkungan sekitarnya berkata lain. Sedari kecil ia mengenalkan kepada putra-putrinya betapa menyenangkannya belajar, betapa asyiknya mengetahui banyak hal, betapa serunya membaca buku. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dalam pendidikan yang baik. Terutama dalam hal percaya bahwa semua orang setara. Perempuan dan laki-laki berhak atas pendidikan yang sama. Dan aku juga percaya hal yang sama. Perempuan berhak sama besarnya dengan laki-laki dalam hal memperoleh pendidikan setinggi mungkin.



v